Mari kita baca sebuah cerita,
Para kurawa merayu dewa,
Hingga sukses masuk surga,
Dalam bahasa sang-sakerta.
Berawal dari cerita tetangga,
Indahnya negeri konoha,
Manusia menjelma dewa,
Ternyata hanya dalam cerita.
Joker itu muncul di dekade ketiga,
Dua dekade silam masih wajar berada,
Kawah candra dimuka ladang euforia,
Bukan olah pikir dan raga.
Aku ada di tiga fase punggawa,
Dua fase dilalui dengan bangga,
Namun fase ketiga sangat berbeda,
Para punggawa tidak berdaya.
Pikirku harga diri itu mahal,
Mustahil larut guyuran hujan,
Tergeletak dikubangan aspal,
Berserakan dipasaran,
Bukti jaman mulai edan.
Kusebut kau pelangi awal,
Bukan pelangi batangan,
Pelangi kedua kondisi aman,
Semuanya enak dipandang.
Pelangi ketiga memang unik,
Disebut pelangi tidak baik,
Joker-lah sebutan asyik,
Emang begitulah agar menarik.
Kau joker pelangi mekanik,
Dikata mekanik namun mendelik,
Mendelik dibawah ketiak antik,
Dikritik balik mencekik.
Pola mekanik sangat menarik,
Cukup diam tak berkutik,
Bersimpuh di jari-Jari lentik,
Dipuja dewa-dewi resik nan cantik,
Jadi joker laksana sebuah komputer,
Bila bicara seperti komuter,
Hidup mati tergantung user,
Di shut dowm kau muter-muter.
Kami dengar ada yang meng-iba,
Merana tanpa do’a beri-rama,
Agar masuk medan laga,
Itu terjadi di fase ketiga.
Yang Mulia para bajingan,
Kalian anggap kita ilalang,
Kita tantang dilapangan,
Mari buktikan, siapa yang mengawang.
Kita kurus tak ter-urus,
Tak peduli dewa rakus,
Bebas lurus kita gerus,
Tanpa beban kita berangus.
Janji manis itu laris,
Jangan terbuai warna pemanis,
Kau anggap kita pengemis,
Matilah kau pelayan bengis.
Kukatakan kepada kawan,
Kita bukan sebagai lawan,
Handai taulan itu buruan,
Para predator tak ber-tuan.
Salah siapa tenggelam dalam warna,
Warna pelangi mempesona,
Padahal kita sebagai dewa,
Mustinya menjaga nirwana.
Warna hanyalah warna,
Kitapun pasti berwarna,
Bukan berarti harus terbawa,
Hingga masuk tak ber-nyawa.
Ini bukan hipokrit,
Tapi memang telah terjangkit,
Bak Sebuah virus Covit,
Tanpa obat yang melangit.
Aku tidak munafik,
Memang Perut perlu oralit,
Agar sembuh dari penyakit,
Tapi, tidak meng-obrak-abrik sang kholik.
Kucoba merah merona,
Tubuhmu seksi menggoda,
Suaramu nyaring membahana,
Yang kudapat gelak ketawa.
Siapa hendak menuju ranjang,
Haruskah merogoh keranjang,
Orang lihat dengan mata telanjang,
Tak terbeban, dengan tenang melenggang.
Tentu ini soal cuan,
Kau anggap barang dagangan,
Kau bawa semua dayang,
Yang terpenting kalian kenyang.
Integritas sebatas kertas,
Terpajang bagaikan atlas,
Dalam tulisan tak ber-balas,
Bergumul berlaku culas.
Komitmen menjelma uap,
Melayang hingga ke atap,
Tak ter-waris pada anak,
Menghamba para kisanak.
Silahkan kalian nyiyir,
Mendengar banyak syair,
Ku-hanya membanding arsir,
Dengan aturan bernada sumir.
Nyata siapa salah,
Punggawa ketiga lengah,
Menceburkan diri hingga berdarah,
Kalianlah, pelangi syahwat lemah.
Sahabat, jangan risau kau terlaknat,
Saat ini maksiat menjadi obat,
Pewarna menari tak berkarat,
Bercahaya syahdu bak malaikat,
Ya, ku bilang apa !
Tak perlu menjadi ulama,
Hanya lurus se-iya se-kata,
Kau kan sampai ke surga,
Inilah skema dan pola surga,
Kalian cukup meng-nganga,
Bejibun teori surga kau terima,
Hanya pemanis para durjana,
Jangan bicara kualitas,
Proses-pun tak tuntas,
Kalian ambil jalan pintas,
Kebangganmu tak ber-alas.
Akhirnya ku tergoda,
Ku coba bersandiwara,
Mengelus kepala dewa,
Tak kudapat takhta surga.
Sahabat, jika kaki sudah melangkah,
Medan laga bukan masalah,
Pinta-ku kau tak ber-nanah,
Meng-iba para dewa dengan pasrah.
Sang bijak pernah merenung,
Siaplah terluka, jika kau petarung,
Siaplah tersesat, jika kau petualang,
Siaplah keduanya, jika kau pejuang.
Saat suasana membara,
Ekspektasi tinggi berkelana,
Para punggawa dijalan sempit berada,
Ingat, mitigasi kunci kesabaran perjuangan pandawa.
Aku tak bisa lagi berkata,
Jika kau masuk tak bernyawa,
Penista yang akan kau terima,
Konsekwensi bagian dari pahala.
Yakinkan diri punya nilai,
Bukan landas melandai,
Apalagi jiwa kau gadai,
Ingatlah, Izrail melambai.
Jika memang kau harus tercebur,
Cepatlah ingat kubur,
Rasa kuat diri itu takabur,
Mendahului ketentuan maha ghofur.
Sahabat, medan laga kita kan berjumpa,
Perkuat diri dari angkara murka,
Membaca jadi solusi tak terkira,
Menepis diri dari akal kurawa.
Sengkuni pasti menjelma,
Raja zeus menggema di sawarga,
Shysipus ter-kena karma,
Lantas apa yang kalian bisa.
Akal kita gunakan,
Pikiran kita pertajam,
Lisan jadi andalan,
Mendobrak akut permasalahan,
Keyakinan akan keberadaan tuhan.
Perut kita isi makanan,
Otak kita isi pembelajaran,
Hati kita isi peribadatan,
Itulah kebutuhan, bukan kewajiban.
Sahabat tujuh yang kukuh,
Kalian harus berpegang teguh,
Pada prinsip yang utuh,
Agar lahir generasi tangguh.
Sahabat delapan yang mapan,
Yakinkan diri menang,
Akan rayuan arwah gentayangan,
Agar hidup menjadi seimbang.
Kalian pewaris kami,
Jangan buat kita ngerii,
Dengan tingkah tak berarti,
Tunjukan kalian berisi.
Merdekalah dari caci maki,
Halau semua para pendengki,
Sebab kita titisan peri,
Yang mampu berdiri sama tinggi.
Awal kami menjadi pandawa,
Kami bangga merana dengan do’a,
Meski perjalanan mengiba-iba,
Hingga akhir penuh suka ria.
Amana yang jeli akan angka-angka,
Anana cermat akan problematika,
Salmana penjegal punggawa,
Azara pendatang baru yang setia.
Kalian sahabat tak berbanding,
Selalu bersanding tak bergeming,
Walau perjalanan terkadang miring,
Aku bangga menjadi pendamping.
Cerita kita semua sama,
Terpenggal para kurawa,
Jangan pernah tuk meng-iba
Tegas diri kita Pandawa.
Bukan karna kita bodoh,
Hanya saja kita terkecoh,
Permainan para tokoh,
Yang haus sosok roh.
Prajurit papan catur yang berani,
Terkadang ngeriii kalo sudah beraksi,
Perkuat jari jemari yang menari,
Apresiasi kami tak bertepi.
Pesan moral jangan kau abai,
Kadang hidup bertemu badai,
Jangan-lah kau terbuai,
Para penggoda sangatlah lihai.
Yakinkan kalian cukup pandai,
Jangan lagi tercerai berai,
Kami sudah berderai-derai
Timpa mental tak ter-nilai.
Sang bijak pernah berkata,
Dalam permainan pasti terluka,
Jangan kau diambil duka,
Kewajaran itu terbuka.
Sahabat,,,,
Hikayat ini ku ukir dalam syair,
Agar dimengerti para generasi pemikir,
Bahwa, tidak baik-baik saja sang negeri,
Porak poranda negeri kita, menjadi arti !
Maafku tak bias larut,
Dalam suasana hati kusut,
Agar tak mengkerut,
Karna hidup kan berlanjut.
Mari kita ambil hikmah,
Istirahatlah, Jika kau lelah,
Penuhi hati, lalu Lanjutkan-lah,
Semoga, hidup kita, mendapat berkah.
Puisi kaya ;
‘King’s W2’
(Seorang Penista para Penista)