oleh: Jomson Saut Martinus Samosir, S.H.
Direktur Konsultasi Bantuan Hukum Pemilu
Kita ketahui bersama, belakangan ini, beredar isu dugaan pencatutan NIK warga Daerah Khusus Jakarta untuk kepentingan syarat dukungan bakal calon perseorangan atas nama pasangan calon Dharma Pongrekun – Kun Wardhana.
Merujuk pada pasal 263 ayat 1 dan 2 KHUP yang berbunyi sebagai berikut:
- Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Isu dugaan pencatutan NIK Warga Daerah Khusus Jakarta saat ini menjadi tranding topik di pemberitaan maupun media sosial.
Menurut saya, KPU dapat meninjau kembali syarat dukungan bakal calon perseorangan tersebut dengan cara membuka posko pengaduan keberatan, maupun menindaklanjuti rekomendasi dari Pengawas Pemilu (Bawaslu Provinsi Daerah Khusus Jakarta beserta jajaran) dengan melampirkan bukti pencatutan NIK warga yang merasa dirugikan.
Selain itu, Bawaslu sebagai pengawas Pemilu juga dapat membuka posko pengaduan melalui mekanisme laporan atau Bawaslu dapat jemput bola melalui proses temuan dengan cara turun ke lapangan, membuka posko pengaduan mulai dari tingkat RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi.
Kita kaget, mekanisme verifikasi syarat dukungan bakal calon perseorangan itu dimulai pada tahap verifikasi administrasi dan dilanjutkan ke tahap verifikasi faktual. Mestinya sejak awal, KPU dan Bawaslu bisa kolaborasi untuk mengantisipasi adanya pencatutan NIK warga dengan cara membuka posko pengaduan terlebih dahulu mulai dari tingkat RW, keluarahan hingga di level provinsi.
Selain itu, pada saat verifikasi faktual di lapangan dengan metode sensus atau door to door ada pengawasan melekat dari Bawaslu. Artinya verifikasi dukungan tersebut itu dilakukan secara tatap muka atau door to door oleh tim verifikator yang dibentuk oleh KPU dan diawasi oleh jajaran Bawaslu.
Mekanisme verifikasi faktual itu untuk memastikan syarat dukungan si pemberi dukungan calon perseorangan, dengan cara didatangi dan diwawancara oleh ferivikator dari KPU terkait benar mendukung atau tidak si pasangan calon dan itu dilakuan secara terbuka dan diawasi oleh Jajaran Bawaslu.
Kemudian kita jadi bertanya-tanya, kenapa justru sekarang banyak warga yang diduga dicatut namanya?
Apakah metode sensus itu, tidak bertemu dengan warga secara langsung atau seperti apa, kita belum tahu. Mestinya dapat diatasi oleh KPU dan Bawaslu. Kita prihatin dengan situasi saat ini, dimana warga banyak keberatan dengan Pencatutan NIK untuk kepentingan syarat dukungan bakal calon perseorangan.
Selain itu, memang proses Pencatutan NIK bisa juga didapatkan data data pribadi warga dari koperasi, Pinjol atau leasing oleh pihak pihak yang tidak bertanggungjawab lalu kemudian dijadikan dokumen syarat dukungan kepada bakal calon perseorangan.
Saya menyarankan agar KPU Provinsi Daerah Khusus Jakarta dan Bawaslu Provinsi Daerah Khusus Jakarta berkolaborasi untuk meninjau ulang syarat dukungan tersebut dan mengecek dan memvalidasi kebenaran dokumen syarat dukungan, agar proses demokrasi di Pilkada Daerah Khusus Jakarta terhindar dari kecurangan dan money politic.
Kita tidak mau Pilkada Tahun 2024 di Jakarta ini curang dan menghasilkan pemimpin yang tidak amanah.
Hal terpenting, pencatutan ini harus diusut secara tuntas oleh KPU dan Bawaslu sesuai kewenangan masing-masing dan pelaku yang mencatut dapat dicari dan diberikan sanksi pidana berdasarkan pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP. Kita ingin Pilkada Daerah Khusus Jakarta berjalan secara demokratis dan jauh dari kecurangan.
Salam demokrasi.